Senin, 22 September 2008

Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi

Leo Agustino*

Introduksi

Demokratisasi merupakan tema sentral perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang didalamnya tercakup berbagai persoalan yang saling berkait satu sama lain. Sebagai suatu tema sentral, demokratisasi telah menjadi objek studi yang sangat luas rentang pembahasannya. Ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba, 1984; Harrison dan Huntington, 2000), model dan bentuk baru demokrasi (Held, 1986 dan 1999; Dahl, 1999), masalah-masalah civil-society (Diamond, 1992), masalah civilian supremacy upon military (Huntington, 1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000), tingkatan modenisasi-demokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.), 1990; International IDEA, 2001), pilihan strategi-strategi demokrasi (O’Donnell, Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’Donnell dan Schmitter, 1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz and Valenzuela (eds.), 1994), dan lain-lain. Selain itu, kegiatan studi yang serius dalam membentuk suatu teori demokrasi terus dilakukan oleh para scholar dalam rangka menemukan jati diri demokrasi yang sejati. Kegiatan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya indikasi pergeseran fokus analisis dari negara (state) ke sisi sisi masyarakat (society). Dari banyak tulisan yang membahas persoalan demokratisasi, tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh perhatian yang sangat besar pada pengembangan kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi.

Pengembangan kekuatan masyarakat dapat dilakukan, misalnya dengan: mengeluarkan perwira-perwira militer yang ikut serta dalam persoalan sosial-politik ranah-ranah kelompok sipil; pembentukan sistem kepartaian yang mendukung terhadap berkembang dan berdayanya sistem parlementer guna terwujudnya pertanggungjawaban (responsibility) dan pertanggunggugatan (accountability)—politik—pada masyarakat; atau membuka keran-keran partisipasi seluas mungkin agar tuntutan dan dukungan warga dapat teragregasi dengan maksimal. Selain itu, mulai dikembangkannya otonomi partisipasi yang (mungkin) selama ini selalu dimobilisasi; penguatan supremasi hukum; dan seterusnya. Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering pula diistilahkan dengan people-centered development. Tetapi perlu juga diingat, Huntington (1965) pernah berargumentasi dalam artikelnya “Political Development and Political Decay” yang menjelaskan pada kita bahwa di banyak negara berkembang, masyarakat justru semakin kehilangan kekuatannya. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang dalam hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu memaksa pemerintahannya untuk tunduk terhadap kepentingan warga masyarakat. Oleh karena itu, asumsi teori modernisasi yang menyatakan bahwa negara hanyalah pelaksana dari keinginan sosial-ekonomi-politik mayoritas warganya tidak selamanya benar.

Bila merujuk pada dilema seperti yang tersebut di atas, memori kita dengan kuat kemudian mengingat tulisan Thomas Kuhn (1970) mengenai The Structure of Scientific Revolution yang melihat keilmuan pun mengalami siklus rasionalitas dan otoritas. Maksudnya, bahwa rasionalitas dan otoritas sains pada dasarnya merupakan konsensus para ahli daripada produk sebuah metode penelitian yang serba logis, objektif, dan taat metodologi. Oleh karenanya, elemen-elemen lain di luar rasionalitas dan objektivitas, seperti irasionalitas dan subjektivitas mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ilmu. Untuk memperkuat argumentasinya Kuhn membuat tiga konsep yang secara analitis sangat kuat dalam melihat siklus rasionalitas dan otoritas kelimuan, yaitu: paradigma, normal-sains, dan anomali.

Menurut Thomas Kuhn, ilmu (pengetahuan) dalam siklus (evolusi) pertumbuhannya berada dalam suatu “otoritas” paradigma tertentu, yang untuk sementara dapat didefinisikan sebagai “pencapaian-pencapaian ilmiah” yang secara universal diakui validitasnya untuk suatu kurun waktu tertentu, dan memberikan model/strategi/kerangka-kerja serta suatu pemecahan bagi suatu keilmuan tertentu. Di bawah otoritas dan paradigma tertentu itulah suatu sains-normal (normal sciences) dalam pemahaman konteksnya dilihat sebagai suatu periode dimana penemuan-penemuan keilmuan terjadi. Sains-normal ini (sebagai riset yang telah didasari pada suatu pencapaian ilmiah) pada masa lalu oleh beberapa ilmuwan telah diakui memberikan landasan untuk mengembangkan keilmuan selanjutnya. Dalam periode ini, ilmuwan bekerja untuk mengartikulasi dan memperluas paradigma yang sedang “berkuasa”. Karena penekanannya pada paradigma yang normal, maka anomali—berupa fenomena atau hal-hal lain yang tidak dapat diterangkan oleh “paradigma dominan”—cenderung untuk diabaikan; namun hal ini berkembang terus. Anomali yang terus berkembang dan meluas ternyata menghasilkan sejumlah kesangsian kritis terhadap paradigma-sains- normal yang sedang berkuasa. Keadaan ini, diistilahkan Kuhn, sebagai krisis keilmuan, suatu situasi dimana ilmuwan tidak dapat lagi menggantungkan kerangka-kerja/model/strategi serta pemecahan pada otoritas sains-normal yang tersedia. Dalam periode ini juga asumsi-asumsi dan premis-premis yang mendasari beroperasinya sains-normal dipertanyakan ulang. Krisis keilmuan akhirnya memperlemah ikatan-ikatan teoretis yang mereka anut, dan akhirnya memunculkan alternatif-alternatif paradigma baru. Yang selanjutnya, alternatif-alternatif paradigma baru ini berebut otoritas (pengaruh) untuk menjadi dominan. Ketika terjadi pemilihan atas satu alternatif paradigma baru, maka satu putaran siklus keilmuan terjadi.

Oleh karena itu, demokrasi sebagai akar demokratisasi turut memberikan argumen definisinya sesuai dengan paradigma serta sains-normal yang tengah dominan. Karenanya, dalam makalah singkat ini pun akan dibahas beberapa teori demokrasi dan demokratisasi guna menjelaskan suatu proses perubahan ke arah perubahan dari state-centered menuju society-centered.


Perihal Demokrasi dan Demokratisasi

Sebagaimana siklus Kuhnian di atas, tekanan analisis demokrasi bergeser dari tingkat negara ke masyarakat, dan kembali bergeser ke negara lagi (pada awal tahun ‘70-an) setelah masyarakat mendapat banyak kritikan. Para pengritik teori modernisasi melihat bahwa ternyata negara juga mempunyai otonomi yang (relatif) besar. Negara bukan sekedar pelaksana kebijakan politik mayoritas masyarakat atau penengah konflik semata, tetapi justru seringkali dapat bertindak otonom dan aktif dalam menentukan dinamika perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hankam. Dari titik balik ini, negara kemudian dipandang olah para analis sebagai variabel pemilah bagi berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya menyangkut demokratisasi.

Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara Otoriter-Birokratik (NOB) yang diintroduksi oleh Guillermo O’Donnell (1973), yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang. Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional yang legal-formal.

Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi pasar (market-oriented reform) dalam proses global. Diskursus ini sekaligus menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun 1970-an. Seiring dengan runtuhnya otoritarianisme dan tegaknya demokrasi di Portugal, Spanyol, Yunani, dan kemudian pada awal dan pertengahan 1980-an di Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Filipina dan beberapa negara lain (Huntington, 1991), agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir 1980-an, kajian demokratisasi menjadi semakin bergairah dengan sudut pandang yang semakin berdiaspora. Adam Pzeworski (1991), misalnya, menggunakan konsep baru hardliners dan softliners dalam menganalisis kejatuhan rezim otoritarian. Diikuti Samuel Huntington (1991) yang menjelaskan diskursus demokratisasi gelombang ketiga yang ditekankan pada tahap-tahap transisi. Kemudian, Donald Share dan Scott Mainwaring (1986) yang menawarkan pendekatan transaksional dalam proses demokrasi antara kelompok pembaharu dan kelompok oposisi, yang kesemuanya tetap dikontrol oleh pemimpin berkuasa. Hingga Robert Dahl (1999) yang memaparkan demokrasi ideal dan demokrasi aktual.

Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’s), asosiasi-asosiasi sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap berdirinya demokratisasi (Hadiwinata, 2003 dan Keane, 1988). Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat—di luar partai politik—mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara menggurita dan bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society secara luas mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi.

Membahas perihal demokratisasi dalam ranah ilmu politik dapat dilihat melalui berbagai pendekatan ilmiah, mulai dari pendekatan struktural, pendekatan elite, pendekatan behavioral, hingga pendekatan sistem. Namun sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita mengupas dulu secara etimologis apa itu “demokratisasi”. Yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan transisi menuju demokrasi dengan menggunakan pendekatan tersebut di muka secara acak.

Secara sederhana, definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti—secara sederhana—pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam arti yang (relatif) agak luas, demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola, dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan. Oleh karena demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada daulat rakyat, maka nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun daulat militer musti disingkirkan.

Dalam literatur ilmu politik (modern) disebutkan ada beberapa ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis, diantaranya: pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; demokrasi pertama-tama mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi bagi siapa pun—baik individu maupun kelompok—secara otonom. Tanpa perluasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti sebagai jargon politik semata. Oleh karena itu, elemen pertama dalam sebuah sistem politik yang demokratis ialah adanya partisipasi politik yang luas dan otonom. Kedua, berwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan-politik (partai politik) atau kekuatan-sosial-kemasyarakatan (kelompok kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk saling berkompetisi secara adil sebagai corong masyarakat, baik dalam pemilihan umum atau dalam kompetisi sosial-politik lainnya. Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga dengan bersih dan transparan—khususnya melalui proses pemilihan umum. Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif, juga berwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Serta, kelima, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati (bersama) dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

Robert Dahl (1999) dalam bukunya On Democracy menjelaskan juga bahwa demokrasi musti membutuhkan kondisi-kondisi awal yang memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri, yaitu: 1) adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; 2) kebebasan berpendapat; 3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan beralternatif; 4) adanya otonomi asosiasional; 5) dibangunnya pemerintahan perwakilan; dan 6) adanya hak warganegara yang inklusif. Lain dari itu, sistem politik yang demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti: pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam horison bernegara dan berbangsa. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan) terhadap supremasi hukum dalam masyarakat. Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat dimintai pertanggunggugatannya.

Menurut Samuel Huntington (1991) proses demokratisasi yang tengah berlangsung di negara-negara di dunia ini bergerak dalam beberapa gelombang. Yang mana gelombang terakhir demokratisasi tersebut—gelombang ketiga demokratisasi—terjadi sejak tahun 1974 sampai dengan sekarang. Secara sederhana Huntington menggambarkan gelombang-gelombang demokratisasi dalam bentuk kuantitas negara—sepanjang abad XX. Dan, disela-sela gelombang-gelombang demokratisasi tersebut, menurutnya, terjadi arus balik, yaitu berlangsungnya proses penguatan kembali otoritarianisme dan/atau totaliterianisme. Gelombang dan arus balik ini mengalami pasang-surut kuantitas negara pengikutnya (lihat tabel 1).

Tabel 1. Gelombang Demokratisasi Menurut Huntington

Tahun Jumlah Negara Demokratis Jumlah Negara
Non-demokratis Jumlah Negara di Dunia Gejala
1922 29 35 64 Gelombang 1
1942 12 49 61 Arus Balik 1
1962 36 75 111 Gelombang 2
1973 30 92 122 Arus Balik 2
1990 58 71 129 Gelombang 3
Sumber: Huntington (1991).

Gelombang ketiga demokratisasi, lanjut Huntington, menjadi masa pertumbuhan yang paling subur di antara gelombang lainnya, oleh karena proses menuju demokrasi itu berjalan seiring dengan globalisasi (proses pengglobalan dunia). Melalui globalisasi—adanya kemudahan akses informasi, komunikasi, transportasi, hingga pencabutan ruang atas waktu (time-space distanciation, dalam istilah Anthony Giddens)—dunia menjadi sebuah global village ‘perkampungan dunia’. Yang implikasinya apabila terdapat katastropi politik di satu negara, maka akan dengan mudah terlihat oleh warga masyarakat internasional lainnya secara instan dalam hitungan detik. Oleh karena itu, dalam konteks politik, sering dikatakan bahwa globalisasi merupakan wahana bagi penyebaran virus demokrasi—meminjam istilah Francis Fukuyama—ke seluruh antero dunia.

Merujuk (kembali) pada Huntington, proses menuju demokrasi, paparnya, dapat berlangsung dalam empat skenario besar. Skenario pertama, disebut dengan istilah transformasi (reforma atau transaction dalam istilah Juan Linz dan Alfred Stepan serta Donald Share dan Scott Mainwaring), yakni proses menjadi demokrasinya suatu negara—yang awalnya otoriter atau totaliter—dengan dimotori dan dikendalikan oleh pihak yang berkuasa—perubahan dari atas. Dalam skenario ini demokratisasi terjadi sebagai konsekuensi atas terjadinya perubahan dalam rezim berupa pemihakan terhadap konsep demokratisasi itu sendiri. Oleh karena itu, elite-rezim berkuasa amat menentukan dalam mengakhiri rezimnya sendiri dan mengubahnya menjadi sebuah sistem politik yang demokratis. Skenario kedua, disebut dengan istilah replacement, penggantian rezim (ruptura atau collapse dalam istilah Linz dan Stepan serta Share dan Mainwaring). Dalam bagian ini demokratisasi terjadi melalui runtuhnya kekuasaan rezim lama yang kemudian digantikan oleh rezim yang (benar-benar) baru, dan prodemokrasi. Dalam konteks ini perubahan terjadi karena penguasa dalam rezim mengalami pelemahan-pelemahan (decaying) dari dalam, sehingga berhasil dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mengalami penguatan-penguatan.

Skenario ketiga, disebut dengan istilah transpalecement (extrication dalam istilah Linz dan Stepan), yakni proses menuju negara yang demokratis sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang mengalami penguatan-penguatan—melalui people power, misalnya—serta adanya dorongan dari faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim yang tengah berkuasa. Lalu, gerakan di luar dan faksi prodemokrasi di dalam rezim bersekutu serta mengendalikan proses demokratisasi, sebagai perwujudan kontrak sosial baru. Dalam konteks ini kelompok oposisi tak sekuat seperti dalam skenario replacement—untuk menggulingkan rezim pro-status quo—sehingga mereka memilih untuk berkolaborasi/bernegosiasi dengan faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim berkuasa. Dan skenario terakhir, keempat, disebut dengan istilah intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh ikut sertanya pihak luar—negara lain—dalam atau dengan menjatuhkan rezim yang tengah berkuasa.

Hampir serupa dengan apa yang dijelaskan oleh Huntington tersebut di atas, Gerado Munck dan Carol Leff (1997) memaparkan hal serupa dengan contoh-contoh kasus di beberapa negara Amerika dan Eropa. Lebih lanjut, menurut Munck dan Leff, transisi menuju demokrasi (demokratisasi) akan dipengaruhi oleh identitas pelaku perubahan serta strategi yang digunakan oleh mereka. Oleh karena itu, ada kemungkinan demokratisasi akan didorong oleh elite yang tengah berkuasa, atau oleh kelompok oposisi, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan pada aspek identitas dan strategi tersebut, maka Munck dan Leff mengajukan tipologi transisi sebagai berikut. Pertama, reformasi dari bawah, proses transisi menuju demokrasi ini digerakkan oleh kelompok di luar elite berkuasa (penentang elite), melalui perjuangan yang bergerak dalam kerangka hukum yang ada dan tersedia. Model seperti ini sangat jarang terjadi, dan hasilnya pun tidak menjamin terbentuk sistem poltiik yang sepenuhnya demokratis, sebab, kekuatan rezim lama dalam beberapa hal masih sangat kuat yang mungkin dapat menghambat terhadap penerapan demokratisasi. Namun demikian refomasi dari bawah ini pernah terjadi di Chile menurut mereka. Kedua, reformasi melalui transaksi. Seperti di Brazil dan Polandia, demokratisasi terjadi karena elite penguasa tidak lagi memiliki cukup kekuatan untuk melawan dan memberangus kekuatan kelompok prodemokrasi, sehingga terjadi negosiasi di antara kedua kekuatan tersebut untuk akhirnya melaksanakan suatu sistem politik yang demokratis. Walaupun pada awalnya kelompok prodemokrasi mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pemerintah, namun akhirnya konfrontasi antara kedua kekuatan ini berakhir dengan akomodasi yang positif terhadap berwujudnya iklim demokratis.

Ketiga, refomasi melalui ekstrikasi (extrication). Sebagaimana yang terjadi di Hungaria, transisi menuju demokrasi melalui ekstrikasi dilakukan dengan cara yang eklektik, yakni dengan kerangka negosiasi antara kelompok oposisi dan kelompok berkuasa yang kemudian masing-masingnya mempunyai kesediaan untuk membuka diri dan menerima kekurangan, serta mengakumulasi kelebihan mereka bersama guna kebaikan seluruh warga-negara. Oleh karena itu, proses ini tidak berlangsung secara rumit. Hal ini terwujud sudah barang tentu karena kedua belah pihak memiliki orientasi yang sama terhadap perubahan negara-bangsa. Keempat, reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, yang pernah terjadi di Argentina, adalah akibat lanjut dari kekalahannya dalam perang Malvinas yang menyebabkan kelompok-kelompok dalam masyarakat akhirnya mengambil alih kekuasaan dalam politik. Juga transisi menuju demokrasi yang berlangsung Chekoslovakia dipicu oleh merebaknya mobilisasi rakyat sebagai respon represi rezim terhadap demonstrasi mahasiswa pada November 1989. Pada kasus reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, rezim berkuasa tidak mampu menghadapi kekuatan perubahan dari masyarakatnya, dan strategi konfrontasi yang dijalankan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi berhasil me-lengser-kan penguasa lama.

Kelima, reformasi konservatif, yaitu suatu perubahan ke arah demokrasi yang dilakukan oleh elite berkuasa akibat dari “kesadaran elite” dengan mengakomodasi semua kebutuhan yang diperlukan oleh suatu sistem politik demokratis. Keenam, revolusi sosial, ialah suatu gerakan warga yang digagas di luar rezim dengan cara/strategi konfrontasi. Kasus Filipina adalah contoh bagaimana revolusi sosial dapat menyumbangkan demokrasi di negara itu. Ketujuh, revolusi dari atas, sebagaimana kasus Bulgaria terjadi karena faktor eksternal, yaitu runtuhnya komunisme. Ketika Uni Soviet jatuh, elite pemerintah Bulgaria yang prodemokrasi melakukan penggeseran “elite-elite tua”—yang ketika itu pro-Moskow, sehingga pimpinan puncak diambil oleh elite-elite yang lebih muda, yang mempunyai jiwa demokratis.

Teori demokratisasi Donald Share (1987) memberikan gambaran yang agak berbeda mengenai jalannya transisi menuju demokrasi. Pola transisi demokrasi-nya Share didasarkan pada dua kriteria umum, yakni jangka waktu berlangsungnya proses demokratisasi serta keterlibatan pemerintah yang tengah berkuasa dalam mewujudkan demokrasi. Pertama, demokrasi secara bertahap, yaitu suatu demokratisasi yang dilakukan secara bertahap (gradual) dengan melibatkan rezim berkuasa. Demokratisasi bertahap ini pernah berlangsung di beberapa negara Eropa Utara. Kedua, transisi melalui perpecahan, yaitu demokratisasi yang berlangsung akibat perpecahan di dalam tubuh rezim berkuasa—sehingga tidak melibatkan elite penguasa—yang dibarengi oleh transisi yang amat cepat. Perpecahan dalam tubuh rezim berkuasa, menurut Share, dapat disebabkan adanya kudeta dari kalangan elite militer atau polisi, keruntuhan rezim akibat kalah perang, adanya revolusi yang digerakkan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi, atau rezim secara tiba-tiba kehilangan legitimasinya dan segera menyerahkan kekuasaannya pada kekuatan oposisi demokratis (ekstrikasi). Ketiga, transisi melalui transaksi, yaitu demokratisasi yang berjalan dengan cepat dengan melibatkan rezim berkuasa. Untuk menjalankan proses dibutuhkan sejumlah persyaratan khusus yang mungkin sulit dipenuhi dalam banyak kasus rezim otoriter. Persyaratan yang mungkin paling sulit ialah adanya kehendak politik (political will) dari rezim otoriter untuk mengambil inisiatif ke arah reformasi politik yang mendukung transisi menuju demokrasi. Ini tentunya berlawanan dengan nilai serta norma yang terkandung dalam jiwa status-quo rezim berkuasa. Dan, keempat, transisi melalui perjuangan revolusi. Dalam konteks ini transisi menuju dmeokrasi dijalankan dengan bertahap dan tidak melibatkan pemimpin rezim.

Melihat jalannya demokratisasi yang tertuang dalam beragam teori tersebut di atas, bukan berarti proses menuju demokrasi akan dimulai sesederhana seperti dalam kata-kata dan berhenti begitu saja. Ia memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dijajaki sebelum sampai pada kondisi yang diidamkan. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam meniti proses demokrasi. Tahapan pertama berjalan sebelum keruntuhan rezim otoriter. Dalam tahap ini biasanya terjadi kombinasi diantara beberapa hal sebagai berikut: 1) lahirnya kritisisme dari luar rezim-berkuasa yang terbangun secara gradual dan semakin menguat; 2) rezim-berkuasa mengalami perpecahan internal; 3) kelompok militer atau angkatan bersenjata pun mengalami perpecahan dan/atau perubahan orientasi politik; 4) rezim-berkuasa menghadapi krisis ekonomi dan/atau politik yang semakin sulit dikendalikannya; dan 5) berkumandangnya tuntutan perubahan yang semakin kuat. Tahapan ini biasanya disebut dengan istilah tahapan pratransisi.

Tahap kedua, adalah tahap terjadinya liberalisasi politik awal, yang dicirikan dengan: 1) jatuh dan/atau berubahnya rezim-berkuasa; 2) meluasnya hak-hak politik rakyat melalui wadah political-rights dan civil-liberties; 3) terjadinya ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability); 4) terbentuknya ketidakpastian dalam banyak hal; dan 5) terjadinya ledakan partisipasi politik publik. Biasanya tahap ini ditutup dengan terjadinya pemilihan umum yang demokratis dan pergantian pemerintahan sebagai konsekuensi logis dari hasil pemilihan umum tersebut.

Tahap ketiga demokratisasi dikenal dengan istilah transisi. Tahapan ini berlangsung dengan telah berwujudnya pemerintahan baru yang bekerja dengan legitimasi yang memadai, atau bahkan kuat. Di bawah pemerintahan baru inilah kemudian dilakukan penataan ulang terhadap seluruh perangkat yang menyokong sistem politik, sosial, dan ekonomi. Penataan ulang terhadap perangkat sistem yang ada dalam negara—seperti tersebut di muka—akan berkait dengan pergantian para pelaku yang nondemokratis atau nonreformis, tumbuhnya lembaga atau institusi baru, terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme kerja, serta perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis.

Tahapan terakhir, keempat, dalam proses menuju negara yang demokratis adalah konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan ini, demokratisasi, ditandai oleh banyaknya orang baru dan bersih dalam pemerintahan; adanya aturan—termasuk konstitusi—yang sudah diperbaiki; hingga berubahnya cara berpikir, perilaku, serta budaya lama ke arah cara-cara baru yang demokratis.

Namun demikian, tidak semua proses di atas bisa selalu berhasil dengan mulus. Ada beberapa negara yang berhasil melewati masa pratransisi dengan baik, namun kemudian gagal setelah memasuki tahap liberalisasi politik awal. Ada pula negara-negara yang berhasil dalam tahap liberalisasi politik awal, tetapi gagal menjalani tahap transisi, dan ironisnya mereka kembali ke sistem politik lama. Ada juga negara yang berhasil menjalani tahapan transisi, tapi gagal menjalani tahap konsolidasi-demokrasi. Jadi, pendek kata, proses demokratisasi merupakan sesuatu yang tidak mudah dan butuh kesungguhan, konsistensi, serta kesabaran yang memadai.


Konklusi

Paham demokrasi (demokratisme) sama sekali tidak bisa menjamin bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia, makmur, damai, dan adil. Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang paling demokratis, tak akan mampu memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut di muka. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan (Snyder, 2003).

Terlepas dari cacat demokrasi, bagaimanapun juga kita harus terus memandang berbagai keuntungan yang membuat terus demokrasi diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa demokrasi begitu marak ingin diwujudkan hingga saat ini. Setidaknya, menurut Robert Dahl (1999),ada sepuluh keuntungan demokrasi dibandingkan sistem politik lainnya, yaitu:
1) demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik;
2) demokrasi menjamin bagi warganegaranya dengan sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem yang nondemokratis;
3) demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warganegaranya daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan;
4) demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasar mereka;
5) demokrasi membantu perkembangan manusia lebih baik daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan;
6) hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri;
7) hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggungjawab moral;
8) hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan tingkat persamaan politik yang relatif tinggi;
9) negara-negara demorasi perwakilan modern tidak berperang satu dengan lainnya; serta
10) negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang nondemokratis. []


Referensi

Almond, Gabriel, dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokratisasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Apter, David. 1987. Politik Modernisasi. Jakarta: Gramedia.
Dahl, Robert. 1999. On Democracy. New Haven: Yale University Press.
Diamond, Larry dan Plattner, Marc (Ed.). 2000. Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Diamond, Larry. 1992. The Democratic Revolution. London: Freedom House.
Diamond, Larry, Juan Linz, dan Seymour Lipset (Eds.). 1990. Democracy in Developing Countries: Comparing Experiences With Democracy. Boulder: Lynne Rienner.
Hadiwinata, Bob S. 2003. The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement. Disertasi. London and New York: Routledge Curzon.
Harrison, Lawrence, dan Samuel Huntington. 2000. Culture Matters: How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.
Held, David (Ed.). 1986. New Form of Democracy. London: SAGE.
Held, David. 1990. Model of Democracy. Cambridge: Polity Press.
Huntington, Samuel. 1956. The Soldier and the State. Harvard: Harvard University Press.
Huntington, Samuel. 1965. “Political Development and Political Decay” dalam World Politics, Vol. XVII, No. 3. P. 386—430.
Huntington, Samuel. 1991. The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press.
International IDEA. 2001. Democracy Assessment: the Basics of the International Idea Assessment Framework. Stockholm: International IDEA.
Keane, John. 1988. Democracy and Civil Society. London: Verso.
Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press.
Linz, Juan, dan Arturo Valenzuela (Eds.). 1994. The Failure of Presidential Democracy. Baltimore: John Hopkins University Press.
Munck, Gerardo L., dan Carol Skalnik Leff. 1997. “Modes of Transition and Democratization: South America and EAst Europe in Comparative Perspective” dalam Comparative Politics 29 (April, 1997). P. 343—362.
O’Donnell, Guillermo. 1973. Modernization and Bureaucracy Authoritarianism: Studies in South American Politics. Berkeley: Institute for International Studies, University of California.
O’Donnell, Guillermo, dan Phillipe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES.
O’Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead. 1993a. Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES.
O’Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead. 1993b. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin. Jakarta: LP3ES.
O’Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead. 1993c. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan. Jakarta: LP3ES.
Pzeworski, Adam. 1991. Democracy and the Market: Political and Economic Reform in Eastern Europe and Latin America. New York: Cambridge University Press.
Share, Donald, dan Scott Mainwaring. 1986. “Transactions through Transaction: Democratization in Brazil and Spain” dalam Wayne Selcher (Ed.). 1986. Political Liberalization in Brazil: Dilemmas and Future Prospects. Boulder: Westview Press.
Share, Donald. 1987. “Transition to Democracy and Transition through Trasaction”. Comparative Political Studies Vol. 19, No. 4 (January, 1987).
Shaw, Martin. (Tahun?) Post-Military Society: Militarism, Demilitarization, and War at the End of the Twentieth Century. London: Polity Press and Basil Blackwell.
Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis. Jakarta: KPG.

* Pengajar di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten.
Pergeseran ini musti dipahami sebagai kritikan paham strukturalis yang menentang sejumlah asumsi teori modernisasi, terutama kegagalan teori modernisasi menjelaskan proses pembangunan. Masyarakat dianggapnya tidak memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi sosial.

Dari http://www.ireyogya.org/ire.php?about=mandatory/pol_perlawanan_leo.php

Bush, Islam, dan Asia Tenggara

Oleh: Herdi Sahrasad, Associate director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina serta aktivis Forum Muda Paramadina

Lawatan Presiden AS George W. Bush ke Indonesia November ini tidak terlepas dari kepentingan strategis Amerika di kancah global. Menurut rencana, Bush akan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan beberapa agenda bilateral. Namun, dikhawatirkan kehadiran Bush akan membangkitkan sentimen Islam radikal.

Pasca runtuhnya Soviet, AS bertekad untuk tetap menjadi satu-satunya negara adidaya. Di dunia Islam, ambisi itu ditanggapi dengan kecemasan dan ambivalensi antara negeri-negeri muslim seperti Saudi dan Kuwait yang mendukung AS dan negeri-negeri muslim yang menentangnya, semacam Iran dan Suriah, selebihnya negeri-negeri muslim bersikap netral.

Di belahan Eropa, ambisi AS itu menimbulkan keretakan yang makin lebar dengan Eropa, sekutunya di Barat. Eropa saat ini menjadi satu-satunya kawasan di mana kekuasaan tandingan atas AS dapat muncul. Kasus serangan AS ke Iraq menampakkan permainan divide and rule oleh Washington dengan memainkan Inggris dan Eropa Timur yang mendukung serangan AS ke Iraq, berhadapan dengan (vis-Ã -vis) Prancis-Jerman yang menolak invasi/hegemoni AS ke Iraq tersebut.

AS dan Dunia Islam

Persepsi Bush banyak dipengaruhi pandangan Samuel P. Huntington dan Bernard Lewis dalam memandang dunia Islam. Bagi Bush, AS menyadari betapa sangat sulit dunia Islam (Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara) menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam hingga kini tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di Palestina sebagai kelompok teroris. Sebab, mereka berjuang membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel.

Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Bush dan pemimpin Barat yang lain agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk muslim merupakan satu faktor destabilisasi terhadap masyarakat muslim dan lingkungannya, termasuk destabilisasi terhadap AS/Barat. Jumlah besar kaum muda muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi ke Barat.
Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan Islam dan sekaligus benturan antara masyarakat Islam dan Barat.

Dalam bukunya (Who Are We?: The Challenges to America National Identity, 2004), Huntington meyakinkan Bush dan pemimpin Barat bahwa dewasa ini Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS, This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War.

Di sini, Huntington menggunakan istilah perang baru (new war) antara AS dan Islam militan. Bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Paralel dengan Huntington, penasihat Gedung Putih, Bush menyebut perang melawan Islam militan itu sebagai crusade.

Untuk memengaruhi Bush, Huntington menyodorkan polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan bahwa sebagian besar kaum muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Polling di sembilan negara Islam, Desember 2001-Januari 2002, yang ditunjukkan Huntington kepada Bush dan rakyat AS menampilkan opini umum di kalangan muslim bahwa AS adalah kejam, agresif, arogan, mudah terprovokasi, dan culas dalam politik luar negerinya .

Banyak kelompok Islam oleh Huntington dimasukkan ke kategori militan sehingga layak diserang AS secara dini. Tanpa memberikan alasan, sebab-sebab, dan fakta yang akurat dan komprehensif, Huntington menyatakan bahwa selama beberapa dekade terakhir kaum muslim memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Buddha, atau China. Di sini, Bush kemudian melihat Afghanistan dan Iraq sebagai negeri muslim yang layak diserang. Ketegangan dan terorisme global pun mencuat tak terelakkan, terutama dilancarkan aktivis Islam Al Qaidah dan jaringannya.
Dalam konteks Asia, terutama Asia Tenggara, Bush membuka peluang bagi peningkatan AS-ASEAN dan hubungan RI-AS di berbagai bidang yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan dengan mengembangkan area of common interests (kepentingan bersama) serta meminimalkan perbedaan (area of differences) dalam berbagai segmen pola hubungan AS-ASEAN dan RI-AS tanpa harus hanyut ke dalam pelukan hegemoni AS .

AS dan Asia Tenggara

Asia Tenggara masih trauma dengan malapraktik IMF dalam mengatasi krisis ekonomi di kawasan ini 1997-1998, yang menyebabkan krisis itu berkepanjangan, sebagaimana dicatat guru besar National University of Singapore Chang Heng Che (kini Dubes Singapura untuk AS) dan ekonom Paul Krugman serta Jeffrey Sach.
AS yang mengendalikan IMF dan Bank Dunia dinilai mereka tidak berbuat banyak dalam upaya mengatasi krisis ekonomi itu sehingga mendorong ASEAN lebih mendekati China yang lebih responsif dan suportif dalam membantu ASEAN mengatasi krisis ekonomi.
Dewasa ini, di Asia Tenggara, Indonesia merupakan elemen penting dalam perang AS dengan terorisme global, termasuk perang terhadap Al Qaidah, Jamaah Islamiyah, dan jaringannya. Indonesia adalah anchor of stability (jangkar stabilitas) di Asia Tenggara.

Keberhasilan Indonesia menangkap pelaku teror dan menghancurkan jaringan terorisme merupakan kontribusi sangat penting terhadap upaya masyarakat internasional dan pemerintah AS dalam menghadapi terorisme global. Karena itu, secara geopolitik dan geo-ekonomi, peran Indonesia di mata AS bagi terwujudnya stabilitas di Asia Tenggara sangat krusial, sekaligus sebagai sekutu pengimbang terhadap China di Asia. Sementara di mata AS potensi pasar dan sumber daya alam Indonesia sangat besar.
Dalam paradigma pemerintah AS yang meletakkan perang terhadap terorisme dalam kerangka ideologis, Indonesia sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia merupakan role model yang dibutuhkan AS. Masyarakat Indonesia dengan tradisi agama dan pluralisme serta memiliki toleransi, juga berperan sebagai counter balance dalam menghadapi peningkatan radikalisme agama dan terorisme yang dapat membahayakan sendi-sendi demokrasi dan stabilisasi di Asia Tenggara.

Karena itu, lawatan Bush pada November ini ke Indonesia, negeri terbesar di Asia Tenggara, akan memperkuat relasi AS-RI dan AS-ASEAN seiring dengan penguatan relasi AS-NATO di Eropa bahwa kedua hal itu vital bagi Washington vis-Ã -vis dunia Islam. AS butuh legitimasi dari Indonesia dalam meneruskan kebijakan memerangi terorisme ke depan.

Tetapi tidak melupakan fakta bahwa perilakunya sebagai terorisme negara dalam kasus serangan ke Iraq untuk menggusur Saddam Hussein dan Afghanistan soal Taliban serta intervensinya di Palestina dan tekanannya atas Iran soal program nuklir tidak bakal didukung dan dilegitimasi oleh Indonesia.

Kepentingan dan popularitas Bush di dalam negeri tidak akan terdongkrak dengan kunjungannya ke Jakarta. Pemerintah SBY-Kalla diperkirakan akan bersikap normatif, standar, dan terukur dalam menerima kehadiran Bush. Apalagi, masyarakat dan pemerintah Indonesia sudah dikecewakan kebijakan Bush yang menggunakan standar ganda dalam hubungannya dengan dunia Islam.

Dalam hal ini, Indonesia harus meyakinkan AS bahwa perangnya melawan terorisme akan gagal tanpa menyelesaikan masalah Palestina dan menciptakan perdamaian abadi di Timur Tengah (Timteng). Bush sebaiknya menyimak laporan akademisi di Harvard dan Chicago yang berseberangan dengan Samuel Huntington bahwa perdamaian di Timteng tak akan terjadi tanpa berdialog dan mendengar langsung keluhan kelompok Sunni-Syiah Iraq, Hamas, dan Hizbullah yang legitimate dan didukung konstituennya. (Telah dimuat pada harian Indopos Online, 9/11/06)

Samuel Huntington dan Teori Rasialnya

Vedi R. Hadiz*) *) Pengajar pada Department of Sociology, National University of Singapore

PAKAR politik asal Amerika Serikat, Samuel Huntington, agaknya akan semakin populer sejak peristiwa penghancuran World Trade Center New York dan serangan terhadap Pentagon, 11 September lalu. Huntington dikenal sebagai tokoh yang meramalkan suatu clash of civilisations atau "pergulatan antarperadaban" sebagai ciri utama konflik di dunia pasca-Perang Dingin yang, bukan lagi terutama soal ekonomi, melainkan soal tata nilai.

Kini, media massa, domestik dan internasional, yang meliput "perang Amerika melawan terorisme" sering membumbui ulasannya dengan referensi karya Huntington tersebut. Lihat saja berbagai komentar pihak yang pro ataupun anti-Amerika di Indonesia, yang sering mengutip ide dasar dari clash of civilisations ini, walau tanpa menyebut nama Huntington. Tentu mereka diingatkan argumennya tentang pergulatan hebat antara "peradaban Barat" dan "peradaban Islam". Bagi mereka, secara sadar atau tidak, "perang" antara Bush dan Usamah bin Ladin ataupun rezim Taliban di Afganistan merupakan suatu perkembangan mutakhir yang membenarkan tesis pakar Amerika ini.

Sebenarnya, tesis yang telanjur terkenal ini tidak lebih dari omong kosong belaka. Tapi orang-orang yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat pun tergoda memakainya. Mungkin karena idenya ditelurkan oleh seorang akademisi Amerika yang memang populer.

Yang pertama, kita perlu memahami konteks kemunculan gagasan Huntington tersebut. Huntington menulis dalam situasi berakhirnya Perang Dingin dan kemunculan negeri-negeri Asia Timur sebagai kekuatan ekonomi baru. Bagi Huntington, "peradaban Barat"—dengan demokrasi dan hak-hak individunya—adalah unik dan bertentangan langsung dengan nilai peradaban bangsa-bangsa "non-Barat". Orang Asia dan Afrika, seperti ditulisnya, lebih banyak mempunyai persamaan satu dengan yang lainnya dibandingkan dengan orang Barat. Singkatnya, Huntington menganggap orang non-Barat tidak mampu berdemokrasi karena hal itu bertentangan dengan budaya mereka—cara yang agak sopan untuk mengatakan bahwa orang non-Barat tak paham demokrasi.

Menurut saya, ini adalah posisi yang hanya satu langkah terpaut dari posisi rasialis yang terbuka. Suatu hal yang tidak mengherankan, karena Huntington adalah penganjur ditutupnya negeri-negeri Barat bagi imigran dari bangsa-bangsa Asia, Afrika, ataupun Amerika Latin.

Tapi, apa dasar dia menganggap orang-orang non-Barat itu "sama" amat sedikit dijelaskan secara ilmiah. Huntington menulis bahwa "peradaban Islam" akan bersekutu dengan "peradaban Konfusian" untuk menghadang "peradaban Barat". Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di bawah Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya mereka yang unik. Apa dasar "persekutuan" Konfusian dengan Islam ini juga tidak dijelaskan dengan rinci. Sebab, kalau dipikir, apa sih yang akan membuat pertalian yang kuat antara negeri yang begitu berbeda seperti Saudi Arabia dan Cina? Lagi pula, Barat pun bukanlah kesatuan yang monolitik. Orang Prancis akan marah dan tersinggung kalau disamakan dengan orang Amerika.

Lagi pula, stereotyping secara rasial gaya Huntington ini membuat orang lupa bahwa di dalam satu negeri pun terdapat banyak perbedaan budaya dan perilaku. Misalnya, apakah seorang stockbroker di Hong Kong akan mempunyai gaya hidup dan tata nilai yang lebih mirip dengan seorang stockbroker di New York ataukah dengan seorang petani di Vietnam? Saya kira dia akan jauh lebih merasa "di rumah" meminum kopi di Greenwich Village, Manhattan, dibandingkan dengan menanam padi di dekat Sungai Mekong, walaupun orang Hong Kong dan Vietnam sama-sama dari Asia Timur.

Tapi, apa fungsi politik gagasan Huntington tentang "pergulatan antarperadaban" ini? Dalam konteks berakhirnya Perang Dingin, fungsinya tidak lain adalah untuk menciptakan "musuh" baru buat publik Amerika setelah runtuhnya imperium Soviet. Dan tesis ini betul-betul mengena dengan suasana hati orang Amerika pada waktu itu. Contohnya, begitu banyak film Hollywood setelah 1989 yang menonjolkan orang Timur Tengah atau Asia Timur sebagai penjahat. Mungkin saja ini menunjukkan rasa tidak amannya suatu bangsa. Ironisnya, saat itu Amerika telah menjadi negeri adidaya yang tidak tertandingi secara politik, meskipun telah muncul persaingan ekonomi dari beberapa negeri Asia Timur.

Tapi, lebih dari itu, "musuh" memang selalu diperlukan di Amerika Serikat untuk mengesahkan anggaran belanja militer besar dengan investasi pada infrastruktur dan teknologi yang mahal. Kalau tidak, rakyat Amerika mungkin akan meminta investasi yang lebih besar untuk hal lain, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, investasi sosial seperti ini bertentangan dengan kepentingan corporate-military complex, yang secara tidak langsung disuarakan oleh Huntington. Suatu mentalitas state of siege tertentu harus selalu dipelihara untuk membenarkan keberadaan kepentingan semacam ini di tengah masalah kemiskinan, pengangguran, dan penurunan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan di Amerika Serikat. Sekarang saja kaum konservatif di Amerika sudah berteriak untuk meningkatkan anggaran militer.

Nah, lucunya—paling tidak di Indonesia—mereka yang mengaku tidak setuju dengan kebijakan luar negeri Amerika, bahkan yang mengaku bersimpati pada Taliban, memakan argumentasi Huntington hampir bulat-bulat. Mungkin ada kebanggaan tersendiri dianggap sebagai "ancaman" oleh seorang pakar dari bangsa adidaya seperti Amerika. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga membenarkan bahwa orang Islam, atau non-Barat pada umumnya, tidak bisa memahami cara berdemokrasi karena dari sononya memang sudah begitu.

Banyak sekali kelemahan dalam tesis Huntington itu sebenarnya. Misalnya, ia mengatakan bahwa peradaban Barat sudah "jadi" sejak abad ke-8 dan ke-9. Dengan demikian, "Barat" sudah menjadi Barat yang "unik" jauh sebelum perkembangan penting seperti masa reformasi, masa Pencerahan, dan Revolusi Industri. Klaim seperti ini membuat Huntington bisa mengabaikan bahwa demokrasi pun ditanam di negeri Barat sebagai hasil pergulatan panjang yang sering berdarah—terutama dalam konteks perubahan sosial ganas yang dibawa oleh industrialisasi, termasuk beberapa percobaan revolusi oleh kaum proletariat yang gagal. Lucunya, Huntington sendiri pernah menulis dalam sebuah buku sebelum Clash of Civilisations bahwa "gelombang ketiga demokratisasi" sedang melanda dunia, sesuatu yang muskil terjadi kalau demokrasi hanya milik satu peradaban.

Sayang, para komentator, aktivis politik, dan komentator kita keburu termakan oleh sebuah tesis yang memang ngetop tapi begitu simplistis dalam memetakan dunia dan sejarah manusia.

Membincang Benturan Antar Peradaban Huntington

Sebuah Dunia Peradaban

Berakhirnya perang dingin membawa konsekuensi yang sangat nyata bagi perpolitikan dunia. Hampir semua tokoh/pemikir dunia mengemukakan prediksi pemikirannya untuk menyongsong era baru perpolitikan internasional paska perang dingin. Beberapa yang patut kita cermati dan menjadi perbincangan publik adalah tesis Fukuyama tentang akhir sejarah. Kita dapat meyaksikan demikian kata Fukuyama, ...akhir sejarah yang demikian itu: yakni akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final dari (sistem) pemerintahan umat manusia (hal. 16). Di sini Fukuyama menegaskan bahwa bentuk ideal pemerintahan telah ditemukan, dan demokrasi liberal telah menang, tidak ada lagi konflik ideologi, begitu juga konflik-konflik besar lainnya.

Konsepsi yang lain adalah tentang term dua dunia yang dikemukakan oleh Max Singer dan Aaron Wildavsky. Dia memprediksi, para sarjana dunia akan banyak mempunyai kecenderungan untuk berpikir melalui term-term dua dunia, Timur- Barat, Utara-Selatan, pusat-pinggiran, dst. Pembagian yang paling umum juga terlihat antara negara-negara kaya (modern dan berkembang) dan negara-negara miskin (tradisional, terbelakang, atau sedang berkembang).

Konsepsi ketiga tentang peta politik paska perang dingin adalah sebagaimana yang tergambar dalam teori realis hubungan internasional. Menurut teori ini, setiap negara sangat bergantung pada aktor-aktor penting yang berperan dalam urusan internasional. Institusi internasional mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengatur dan membatasi apa yang dilakukan oleh negara. Untuk mengantisipasi setiap ancaman yang mungkin dihadapi dari negara lain, suatu negara memperkuat kekuatannya dan atau melakukan aliansi-aliansi dengan negara-negara lain serta berusaha menguasai institusi internasional tersebut.

Dunia yang chaos, menjadi prediksi berikutnya. Hal ini disebabkan karena semakin melemahnya kekuatan negara hingga muncul gagal negara . Indikasinya adalah ambruknya otoritas pemerintahan, meningkatnya konflik antar-suku, antar-etnis, dan antar-agama, munculnya mafia kejahatan internasional, meningkatnya jumlah pengungsi hingga mencapai berpulu-puluh juta, menyebarnya terorisme, dan merajalelanya pembantaian dan pembersihan etnis. (hal 20)
Dan, tesis Hutington lebih condong pada konsepsi yang keempat, di mana dia memunculkan tesis benturan peradaban? . Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa sumber utama konflik di dunia baru ini bukanlah ideologi atau ekonomi, budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi antara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda.

Lalu, apa yang dimaksud dengan peradaban? Huntington memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif. Budaya di sebuah desa di Italia Selatan mungkin berbeda dengan yang di Italia Utara, tetapi keduanya bisa disebut budaya Italia yang membedakan mereka dari desa-desa di Jerman. Komunitas Eropa, memiliki ciri-ciri budaya yang sama yang membedakan mereka dari komunitas Arab atau Cina. Meskipun demikian, bangsa Arab, Cina dan Barat, bukanlah bagian dari sebuah entitas budaya yang lebih luas. Mereka membentuk peradaban. (hal. 42)

Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang surut. Terkadang, suatu peradaban mampu berkembang dengan pesat, mampu beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Akan tetapi, banyak juga peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir masa, tak lagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban yang mampu bertahan (Peradaban Mayor) antara lain: Peradaban Tionghoa, Peradaban Jepang, Peradaban Hindu, Peradaban Islam, Peradaban Ortodoks, Peradaban Barat, Peradaban Amerika Latin, dan Peradaban Afrika.

Mungkinkah lahir sebuah peradaban universal? Ide yang dikembangkan oleh V.S. Naipaul ini berasumsi bahwa suatu budaya senantiasa tidak lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku, dan institusi-institusi oleh umat manusia di seluruh dunia. Dalam hal ini terjadi proses modernisasi dan westernisasi. Dengan bermodal kemenangan ideologis paska perang dingin, Barat kemudian melakukan hegemoni budaya melalui jaringan komunikasi global. Misalnya, 88 dari 100 film yang beredar di seluruh dunia pada tahun 1993 adalah film-film Amerika (Hollywood), Pada tahun 1994, CNN Internasional menyatakan memiliki 55 juta pemirsa setia (1% dari seluruh penduduk dunia).

Ada 3 tanggapan/respons atas terjadinya upaya universalisasi peradaban melalui modernisasi dan westernisasi. Pertama, menolak dua-duanya. Sejak 1542 hingga pertengahan abad XIX, Jepang merupakan negara yang secara terang-terangan menolak Barat. Demikian juga Cina. Penolakan Cina tidak lepas dari anggapan bahwa Cina merupakan kerajaan Timur yang memiliki keunggulan kebudayaan dibanding kebudayaan lain. Kedua, menerima kedua-duanya, atau sering disebut Herodianisme. Tokoh dibalik sikap ini adalah Mustafa Kemal Ataturk, yang ingin menciptakan Turki Baru diatas puing-puing kekuasaan Ustmani. Ketiga, sikap reformisme, dengan menerima modernisasi tetapi menolak westernisasi.

Pergeseran Peradaban

Keunggulan dan kemenangan Barat selama perang dingin harus dibayar cukup mahal, karena secara internal terjadi kemerosotan yang luar biasa di bidang politik, ekonomi, maupun militer. Barat kini dihadapkan pada persoalan pertumbuhan ekonomi yang lamban, populasi yang stagnan, pengangguran, defisit negara yang sangat besar, kemerosotan etika kerja, tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, dan di berbagai wilayah, termasuk USA, terjadi disintegrasi sosial, meningkatnya jumlah penggunaan obat-obatan terlarang, dan berbagai bentuk kejahatan.

Dalam bidang ekonomi, kondisi di atas dimanfaatkan oleh Cina dan India untuk menguasai dua pertiga manufacturing output dunia. Di bidang militer, pada 1920, Barat jauh melampaui negara manapun dalam kaitannya dengan empat dimensi kekuatan militer (jumlah personel, perlengkapan dan sumberdaya, teknologi/kecanggihan, dan organisasional koherensi, kedisiplinan, dan moralitas pasukan). Namun pada tahun-tahun berikutnya, kekuatan militer negara non-Barat mampu mengimbangi dalam hal jumlah personel dan kecanggihan senjata.

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, pribumisasi menjadi mode di seluruh dunia non-Barat. Tema sentral di kalangan umat Islam adalah re-Islamisasi, di India terjadi Hinduisasi dalam kehidupan sosial politik, di Asia Timur, kalangan pemerintah menawarkan Konfusianisme, para tokoh politik dan kaum intelektual berbicara tentang Asianisasi . Sedang Jepang terobsesi dengan Nihonjinran atau teori tentang Jepang dan orang Jepang. Cina sendiri menguatkan apa yang disebut Ti Yong yakni menjadi kapitalis dan terlibat dalam ekonomi dunia, dipadu dengan otoritarianisme politis dan re-komitmen terhadap kebudayaan tradisional Cina. (hal 177)

Kalau di Asia Timur, kebangkitan peradabannya didasarkan pada peningkatan ekonomi, dan dikenal dengan istilah Afirmasi Asia, berbeda dengan kebangkitan Islam. Kebangkitan Islam dipengaruhi oleh faktor demografi, yakni peningkatan jumlah penduduk muslim yang mencengangkan selain pengaruh melonjaknya harga minyak. Antara 1965-1990, penduduk Maghribi meningkat dari 29,8 milyar menjadi 59 milyar. Di Asia Tengah (1970-1993) naik 2,9%, di Tajikistan 2,6%, di Uzbekistan 2,5%, dst. Pada 1980, penduduk muslim sekitar 18% dari penduduk dunia. Pada 2000, menjadi 20% dan 30% pada tahun 2025. (hal 1999).

Terbentuknya Tatanan Peradaban

Pada tahun 1990-an, terjadi gelombang krisis identitas global. Hampir setiap orang (negara-bangsa) selalu dihadapkan pada pertanyaan, siapakah kita? Berada di pihak manakah kita? Dan Siapa musuh kita? . Krisis ini tidak hanya menghantui negara-bangsa baru bekas pecahan Uni Soviet atau Yugoslavia, tetapi hampir di seluruh wilayah dunia. (hal. 218).

Krisis identitas tersebut, banyak disikapi oleh negara-bangsa dengan membetuk kerja sama ekonomi dan kebudayaan di tingkat regional, atau sering disebut Regionalisme . Terdapat empat tingkatan asosiasi antarnegara , dari yang kurang sampai yang paling integrated, yaitu : 1. wilayah perdagangan bebas, 2. kepentingan bersama, 3. pasar bersama, dan 4. kesatuan ekonomi ( hal. 230).

Uni Eropa, melalui pasar bersama dan pelbagai elemen ekonomi, mampu bergerak lebih jauh dalam melakukan integrasi. ASEAN, pada tahun 1992 mulai bergerak kearah pengembangan wilayah perdagangan bebas . Organisasi Regional di Asia Timur atau EAEC (East Asia Economic Caucus) yang terdiri dari anggota ASEAN, Myanmar, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Jepang dan Cina, melandaskan pada kesamaan budaya sebagai perekat.

Sementara Pakistan, Iran, dan Turki dan enam negara bekas Uni Siviet (1977) menghidupkan kembali kerjasama ekonominya dengan nama Economic Cooperation Organization (ECO). Negara-negara Visegrad, yakni Polandia, Hongaria, Republik Chechnya dan Slovakia, membentuk Perdagangan Bebas Eropa Tengah (Central European Free Trade Area). Pada 1995, Brazil, Argentina, Uruguai dan Paraguai bergabung ke dalam Mercosur dan mengintegrasikan ekonominya.

Benturan Antarperadaban

Kemenangan ideologi liberalisme demokratik atas sosialisme menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa misionaris yang memaksa bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan negara. Padahal, nilai-nilai tersebut acapkali tak bergaung dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks (hal. 336).

Konflik antara Islam dan Barat (kristen) pada akhir abad XX dapat dilihat dari beberapa faktor: Pertama, pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat menyebabkab terjadinya banyak pengangguran dan mendorong anak-anak muda masuk anggota kelompok Islamis dan bermigrasi ke Barat. Kedua, kebangkitan Islam memberi keyakinan bahwa nilai-nilai Islam lebih luhur daripada Barat. Ketiga, intervensi Barat terhadap konflik-konflik di dunia Islam menimbulkan rasa sakit hati . Keempat, runtuhnya komunisme menyebabkan Barat dan Islam saling berhadap-hadapan sebagai musuh. Kelima, terjadinya hubungan dan percampuran antara Islam dan Barat menstimulasi identitas keduanya yang berbeda. (hal. 392).

Konflik antara Konfusianisme Asia (Jepang dan Cina) dengan Barat (Amerika Serikat) dapat dilihat dari 3 faktor; Pertama, interaksi antara masyarakat Asia dengan masyarakat AS dalam bentuk komunikasi, hubungan dagang, penanaman modal dan kerjasama dalam bidang pengetahuan justru penimbulkan saling curiga/keganjilan. Kedua, Kerjasama AS-Jepang atas ancaman Soviet pada 1950-an, dan kerjasama AS-Cina pada 1979, pudar setelah berakhirnya perang dingin. Ketiga, perkembangan ekonomi Asia Timur memicu terjadinya balance of power.antara Asia dan AS.

Implikasi Bagi Masa Depan Peradaban

Buku ini mengajukan hipotesis-hipotesis yang menyatakan bahwa perbedaan antara peradaban adalah nyata dan penting; kesadaran peradaban meningkat; konflik peradaban akan menggantikan konflik ideologi dan bentuk konflik lainnya sebagai bentuk konflik global yang dominan; hubungan internasional yang dalam sejarah merupakan sebuah permainan yang dimainkan didalam peradaban Barat, akan semakin menjadi tidak Barat lagi dan menjadi sebuah permainan dimana peradaban non-Barat menjadi aktor dan bukan semata-mata obyek.

Hipotesis-hipotesis tersebut mempunyai implikasi jangka pendek dan jangka panjang bagi Barat. Dalam jangka pendek, Barat akan mempromosikan kerjasama dengan Eropa dan Amerika Utara karena kedekatan budaya, mempromosikan dan memelihara hubungan dengan Rusia dan Jepang, membatasi ekspansi kekuatan militer negara-negara Konfusian dan Islam, memanfaatkan berbagai perbedaan dan konflik antara Konfusian dan Islam, memperkuat dominasi intervensi pada lembaga-lembaga internasional.

Dalam jangka panjang, peradaban non-Barat berusaha untuk menjadi modern tanpa Barat. Sampai saat ini yang paling berhasil adalah Jepang. Peradaban non-Barat akan terus berusaha meraih kesejahteraan, teknologi, mesin-mesin, dan persenjataan. Oleh karena itu, Barat juga harus semakin mengakomodasi peradaban non-Barat ini. Barat harus senantiasa memelihara kekuatan ekonomi dan militer yang diperlukan unruk melindungi kepentingannya dalam hubungannya dengan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini juga mensyaratkan Barat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik atas agama-agama besar dan asumsi filosofis yang mendasari peradaban lain.

Di masa yang akan datang, tidak akan ada peradaban yang universal, melainkan sebuah dunia dengan peradaban yang berbeda-beda, dan setiap peradaban harus belajar untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya.

Disampaikan oleh Misbahul Hasan pada diskusi rutin PP. LAKPESDAM di gedung Perpustakaan PBNU, Jumat 11 Agustus 2006

dari Http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/105/membincang-benturan-antar-peradaban-huntington

Bush, Huntington, dan Indonesia

Senin, 20 November 2006 | 14:58 WIB

Kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Indonesia pada November ini sudah menjadi diskursus di kalangan Islam dan masyarakat madani yang bersikap kritis dan waspada terhadap kebijakan luar negeri Amerika. Berbagai demonstrasi menyambut pertemuan Bush dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bush baru saja mengalami pukulan telak dengan pengunduran diri Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, yang dikenal menganut garis keras dalam kebijakan luar negeri AS, khas kubu hawkish. Bush dan Yudhoyono akan membicarakan kerja sama keamanan, politik, dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, pembicaraan akan menyangkut operasi korporasi AS yang vital di Indonesia, seperti Exxon, Freeport, dan Caltex.

Bush memiliki pandangan yang paralel dengan Samuel P. Huntington, akademisi Harvard University dan penasihat kawakan Gedung Putih, yang melihat tragedi 11 September 2001 sebagai faktor signifikan bagi penguatan hegemoni AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS dalam pentas politik internasional secara lebih dominan. Bush dan Huntington adalah kubu hawkish, penganut kebijakan garis keras terhadap dunia Islam.

Serangan teroris 11 September memperkuat keyakinan Bush dan Huntington bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Secara geopolitik, di mata Bush dan Huntington, Indonesia merupakan jangkar stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara, selain untuk mengimbangi kehadiran Cina. Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respons AS terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afganistan dan Irak serta intervensi ke Palestina pada tataran khusus.

Dalam merespons terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional. Di sini sikap Bush yang keras terhadap terorisme teraktualisasi dalam kebijakan AS yang melahirkan semacam struktur "bipolar" baru yang memperumit pola-pola hubungan antarnegara. Pernyataan Bush, "either you are with us or you are with the terrorists", secara hitam-putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Pembelahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara, khususnya negara pascakolonial yang tidak ingin dipersepsikan oleh konstituennya berada dalam orbit AS.

Lagi pula, AS sulit untuk menerima pendapat negara lain bahwa perang melawan terorisme tidak harus dilakukan di bawah pimpinan AS. Sementara itu, bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah kemiskinan, beban utang luar negeri, separatisme, keterbelakangan, konflik sosial, dan konflik antaretnis dilihat lebih berbahaya ketimbang masalah terorisme sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup mereka sebagai sebuah negara.

Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau pada masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan dan militer Thailand di bawah Panglima Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratglin naik ke tangga kekuasaan melalui kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi antiterorisme dengan kedua negara itu.

Dengan jelas Washington cenderung menjadikan "komitmen" melawan terorisme lebih menonjol, ketimbang komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, sebagai alat untuk menilai siapa ''lawan dan kawan''. Akibatnya, terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan hak asasi manusia menjadi perang khususnya terhadap terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan AS secara langsung.

Persepsi Huntington

Persepsi Bush paralel dengan Huntington, yang dalam bukunya (Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, New York: Simon & Schuster, 2004) menyatakan musuh utama Barat pasca-Perang Dingin adalah ''Islam militan'', dan dari berbagai penjelasannya, definisi ''Islam militan'' melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, baik radikal maupun fundamental.

Huntington pernah menduduki jabatan-jabatan prestisius di bidang akademis dan aktif terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Pada 1977-1978, ia bekerja di Gedung Putih sebagai Coordinator of Security Planning for the National Security Council. Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut ''Islam'' sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, tapi dalam 'Who Are We?, ia menegaskan betapa Islam menjadi musuh dan ancaman bagi Barat.

Huntington mendukung agar AS/Barat melakukan preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah dijalankan Gedung Putih dengan menyerang Irak dan Afganistan serta mengintervensi Palestina, apalagi pada 2002 doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) telah secara resmi diumumkan. Kekuatan Islam militan di berbagai belahan bumi pun ''disikat'' oleh AS, dan yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau kelompok Al-Qaidah, melainkan mencakup juga banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS.

Pandangan Huntington mempengaruhi Bush, terutama persepsi bahwa apa yang dulu dilakukan oleh komunis internasional juga dilakukan kini oleh kelompok-kelompok Islam militan, seperti aksi protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Kalangan Islam militan juga melakukan kerja-kerja amal sosial dan kultural.

Dalam hal ini, akibat kecenderungan kuat mengaitkan Islam dengan terorisme di kalangan pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin kompleks dan rumit oleh ketegangan antara AS dan negara Islam ataupun negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Kehati-hatian dari negara berpenduduk mayoritas muslim dalam merespons persoalan terorisme ini kerap menimbulkan kecurigaan dari AS, bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan politik yang tidak mudah untuk dihadapi. Akibatnya, pemerintah di negara berpenduduk mayoritas muslim kerap dihadapkan pada dilema antara "kewajiban" memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan menjaga hak-hak konstituen domestik di pihak lain. Meminjam studi Rizal Sukma (CSIS, 2003), kebijakan "perang terhadap terorisme" yang dijalankan AS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok Islam di banyak negara muslim.

Dari uraian di atas tampak bahwa salah satu makna kunjungan Bush ke Indonesia adalah memperkuat relasi Washington-Jakarta. Apalagi, sampai saat ini, AS masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan "perang melawan terorisme" yang tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungannya dengan dunia Islam, termasuk Indonesia. Sudah tentu Bush ingin memainkan ''kartu Islam Indonesia'' untuk melegitimasi kepentingan AS/Barat dan perilaku/kebijakan AS di kancah global, sekaligus sebagai konsumsi ''politik'' dalam negerinya. Di sinilah kemungkinan kunjungan pemimpin AS itu ke Indonesia menuai protes dan mengalami ''komplikasi'' ekonomi-politik, yang harus didekonstruksi dan dicari solusinya oleh pemimpin kedua negara itu sendiri. *

Herdi Sahrasad, penulis, tinggal di Jakarta

dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/20/brk,20061120-88032,id.html

Minggu, 14 September 2008

Menelusuri Jejak Liberalisme Islam di Indonesia

Tak syak lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat telah membuat sebagian kalangan umat Islam terkagum-kagum dan mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi kemajuan Barat itu, sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya pembaharuan Islam dengan mencontoh Barat.

Pembaharuan pemikiran di dunia Islam dimulai ketika Khilafah ‘Utsmaniyah di Turki diambang kehancuran. Selanjutnya, Islam Turki di bawah komando Mustafa al-Tatruk didekontruksi sedemikian rupa seperti Barat. Setelah berhasil mendelegitimasi kewenangan khalifah dan Pengadilan Khusus Agama (Islam), al-Tatruk dengan penuh kepongahan merombak total tatanan prinsip-prinip Islam.

Tak hanya itu. Ia juga mengganti Hukum Syari’at tentang perkawinan Islam dengan diganti hukum Swiss, di mana perempuan punya hak cerai sama dengan laki-laki. Selanjutnya, sekolah-sekolah agama (madrasah) dan perguruan tinggi agama dibubarkan, dan diganti dengan sekolah ala Barat.

Yang lebih parah lagi adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa lokal (Turki), jilbab dilarang, dan penggunaan bahasa Arab pun diganti dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua identitas, idiom-idiom keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol, identitas dan tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah ‘Utsmaniyah itu menjadi Republik Turki yang sekular. (Harun Nasution, Islam Rasional, , 1995)

Selain Turki, dunia Islam yang kecipratan dengan pembaharuan Islam adalah Mesir. Pembaharuan di negeri Kinanah ini mulai terjadi ketika utusan Perancis Napoleon Bonaparte dan sejumlah ilmuan yang ikut rombongannya datang ke negeri itu. Dari situ terjadilah kontak masyarakat Mesir dengan budaya Barat.

Seperti yang dialamiTurki, sebagian ulama Mesir mendukung program pembaharuan model Barat itu. Untuk kepentingan ini, maka diutuslah pelajar-pelajar Mesir untuk belajar di Paris dengan pengawasan imam. Adalah Rifa’ al-Thahthawi (1803-1873) dari imam-imam yang diutus untuk belajar ke sana. Sekembalinya dari pengembaraan dari negeri Barat, pemikiran al-Thahthawi cukup berpengaruh dalam masyarakat Mesir saat itu. Di antara pembaharuan yang digaungkan al-Thahthawi adalah penyesuaian penafsiran/interpretasi syari’at dengan kondisi zaman modern.

Setelah ia wafat, barulah Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir, dan menyuarakan hal yang serupa. Pembaharuan yang dibawa al-Afghani selanjutnya dilanjutkan oleh Muhammad ‘Abduh dan muridnya Rasyid Ridla.

Menurut Harun, pembaharuan yang digerakkan oleh mereka itu memakai pendekatan teologi atau pemikiran Mu’tazilah (rasionalisme). Dari sini pula muncul tokoh-tokoh sekular- liberal, sebut saja misalnya, Musthafa A. Raziq, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Amin, Thaha Husein, ‘Ali Abdul Raziq, dan lain-lainnya yang senada.
Merambah ke Indonesia
Gaung dan gerakan pembaharuan di Mesir rupanya juga merambah ke Indonesia. Melalui KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana, di tengah perjalanan ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar.

Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah (Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bid’ah di masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan bersama Muhammadiyahnya.

Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar (ushul), tapi pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal ru’yah al-Hilal, patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki.

Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan digulirkan. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 2006).

Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, Filsafat Agama.

Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan. Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde Baru.

Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekular di Mesir.

Menurut mantan muridnya di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar IAIN, ” ujarnya.

Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya. Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun, liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.

Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi Al-Qur’an diperkuat dan dikurikulumkan.

Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.” Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”

Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. “Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, ” katanya.

Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Kisah yang mirip dan serupa juga terjadi di UIN/IAIN/STAIN lainnya. Misalnya, dosen pembimbing tesis atau disertasi di UIN Jakarta sering mengolok-olok ketika ada mahasiswa/i dalam tesis/disertasinya mengutip ayat Al-Qur’an ataupun Hadis Nabi Saw. Inilah ironi Studi Al-Qur’an di perguruan tinggi (Islam) kita.

Kasus liberalisasi Studi Al-Qur’an di Indonesia memang sangat ironis dan memprihatinkan. Sebab, proyek ini tidak hanya dilakukan oleh sejumlah akademisi, tapi juga oleh beberapa aktivis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), para petinggi ormas Islam, pengasuh pondok pesantren, lembaga penelitian, dan sebagainya. Mereka begitu ”gigih dan getol” mengkampanyekan liberalisme, selain ingin lepas dan bebas dari Syari’at Islam, juga karena mendapat kucuran dana berlimpah dari The Asian Foundation. Dengan dukungan dana yang relatif besar, untuk mempromosikan agendanya mereka menjalin kerjasama dengan beberapa media massa.

Kasus yang teranyar adalah tindakan tidak fair enam guru besar yang meluluskan disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini banyak penafsiran al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara keimanan kepada Allah Swt dengan keimanan terhadap nabi Muhammad Saw.

Dalam disertasi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, ”secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192). Jadi tanpa beriman kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in sama kedudukannya dengan amal orang Muslim.

Yang lebih parah lagi adalah ketika penulis membahas tentang ”Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”. Ia menyatakan, ”Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).

Disertasi berjudul, Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Dari tujuh guru besar, hanya satu guru besar yang tidak meluluskan disertasi yang kontroversial ini, yakni Prof. Dr. Salman Harun. Bahkan mantan dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta itu membuat kritik tertulis. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji.
Salman menilai Abd.Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373).

Ia menambahkan, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.
Orientalis modern William Montogomerry Watt, menjelaskan, mereka yang disebut liberal adalah orang-orang Islam yang banyak memahami Islam dengan sudut pandang Barat dan melakukan kritik-kritik terhadap Islam baik secara implicit atau eksplisit, tapi mereka masih mengaku sebagai Muslim (William Montogomerry Watt, Fundamentalisme dan Modernity in Islam). (dina)

VIRUS LIBERALISME

Oleh: KH.Drs. Shiddiq Amien, MBA


Liberalisme berasal dari bahasa latin Liber,
yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous).

Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini.
Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan.

Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau.

Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M).

John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.

Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis.

Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire.

Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Dengan demikian esensi dari free-sex itu adalah pembunuhan terhadap manusia.

Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis.
Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia. Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

Rabu, 10 September 2008

Memahami Liberalisme

Tiga hal mencakup paham liberalisme. Pertama kebebasan berfikir, pandangan skeptik dan agnostik. Terakhir manifestasi nifaq. Tidak mau disebut kafir jika sudah tidak committed pada agamanya


Selasa, 30 Agustus 2005


Oleh

Syamsuddin Arif, Ph.D



Menyusul terbitnya fatwa MUI belum lama ini, terdengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan definisi liberalisme. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).

Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium).

Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain.

Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous).

Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini.

Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.

Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.

Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat.

Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.

Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern.

Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself).

Di sini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche.

Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan 16, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).

Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.

Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi.

Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, agar ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti-Tuhan namun dianggap benar.

Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius ke-9, Leo ke-13 dan Pius ke-10.

Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka sebut “modernisme” (Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill, Histoire de Catholicisme libéral en France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New York, 1869).

Di dunia Islam virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M).

Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, London, 1962; Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988; dan Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998; dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, 1999).

Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain.

Pendek kata, meminjam ungkapan Binder, liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without equivocation. Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa Islam and liberalism appear to be in contradiction (hlm.2)

Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal: (1) free thinking; (2) sophisme; dan (3) loose adherence to and free exercise of religion.

Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok dilarang,” ujar mereka. Yang kedua biasanya lebih dikenal dengan istilah ‘sūfasthā’iyyah’, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik.

Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.

*) Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat di Hidayatullah.com

Irshad Manji: Idola Kaum Liberal

Kaum liberal mengidolakan kaum lesbian sebagai ”pembaharu”. Kelak, anak-anak Muslim berganti idola dari Aisyah menuju kaum lesbian. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-241

oleh: Adian Husaini


Sejumlah orang yang akan berdialog dengan kaum liberal saya beri saran agar jangan pakai dalil ayat-ayat Al-Quran. Sebab, banyak kaum liberal yang sudah tidak percaya lagi pada keotentikan Al-Quran, sehingga tidak ada gunanya dalil Al-Quran untuk mereka. Memang ada diantara mereka yang masih percaya Al-Quran sebagai wahyu Allah, tetapi banyak pula diantara mereka yang memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda.


Jika tafsirnya kita kritik, mereka pun tak segan-segan menyatakan, ”Itu kan penafsiran anda! Penafsiran saya tidak begitu!” Mereka banyak yang sudah berpandangan bahwa hanya Tuhan saja yang tahu penafsiran yang sebenarnya. Manusia boleh menafsirkan Al-Quran semaunya, dan semuanya tidak dapat disalahkan. Karena itu, ada yang menyatakan, bahwa perbedaan antara Islam dan Ahmadiyah, hanyalah soal perbedaan tafsir saja, karena itu jangan saling menyalahkan, karena semua penafsiran adalah relatif. Yang tahu kebenaran yang mutlak, hanya Allah saja.


Memang, soal utama antara Islam dan Ahmadiyah, adalah masalah tafsir. Tapi, ada tafsir yang salah dan ada tafsir yang benar. Semua manusia yang masih berakal (tidak gila), bisa saja menafsiran Al-Quran. Tapi, tidak semua tafsir itu benar, sebagaimana klaim kaum liberal. Ada tafsir yang salah. Misalnya, kalau ada yang menafsirkan ayat ”Wa-aqimish shalaata lidzikri”, bahwa tujuan salat adalah mengingat Allah. Maka, jika sudah ingat Allah, berarti tujuan sudah tercapai, dan tidak perlu salat lagi. Tafsir semacam ini tentu saja tafsir yang salah.


Contoh lain, dalam buku Eik Ghalthi ka Izalah (Memperbaiki Suatu Kesalahan) karya Mirza Ghulam Ahmad (terbitan Ahmadiyah Cabang Bandung tahun 1993), hal. 5, tertulis pengakuan Ghulam Ahmad yang mendapat wahyu berbunyi: ”Muhammadur Rasulullah wal-ladziina ma’ahu asyiddaa’u ’alal kuffaari ruhamaa’u baynahum.” Lalu, dia komentari ayat tersebut: ”Dalam wahyu ini Allah swt menyebutkan namaku ”Muhammad” dan ”Rasul”.”


Ayat tersebut jelas terdapat dalam Al-Quran (QS 48:29). Kaum Miuslim yakin seyakin-yakinnya, bahwa ”Muhammadur Rasulullah” di situ menunjuk kepada Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekah; bukan merujuk kepada Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India. Jika Ghulam Ahmad membuat tafsir bahwa dia adalah juga Muhammad sebagaimana ditunjuk dalam ayat tersebut, maka tafsir Ghulam Ahmad semacam itu jelas tafsir yang salah.


Akan tetapi, kaum liberal akan menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad juga berhak membuat tafsir sendiri, dan tidak boleh disalahkan atau disesatkan. Anehnya, kalau umat Islam punya pandangan dan sikap yang berbeda dengan kaum liberal, maka akan disalah-salahkan, dicap fundamentalis, radikal, tidak toleran, dan sebagainya. Jadi, kita dilarang menyalahkan yang salah, tetapi kaum liberal boleh menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan mereka.


Sebagaimana pernah kita bahas dalam beberapa CAP, aksi kaum liberal dalam menyerang Al-Quran dari waktu ke waktu semakin brutal. Berlindung di balik wacana kebebasan, mereka tidak segan-segan lagi menyerang dan menistakan Al-Quran secara terbuka. Apa yang pernah terjadi di IAIN Surabaya tahun 2006, ketika seorang dosen menginjak-injak lazadz Allah yang ditulisnya sendiri, tampaknya hanyalah fenomena gunung es belaka. Sejumlah buku, jurnal, dan artikel terbitan kaum liberal di Indonesia sudah secara terbuka menyerang Al-Quran. Kita masih ingat, bagaimana jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang secara semena-mena menyerang Al-Quran, dengan menyatakan:

”Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”


Yang kita heran, orang-orang ini adalah bagian dari kalangan akademisi yang seharusnya menjunjung tinggi tradisi intelektual yang sehat. Tapi, faktanya, mereka sering mengungkapkan pendapat tanpa didukung oleh data-data yang memadai. Belakangan ini, kaum liberal di Indonesia sedang gandrung-gandrungnya pada seorang wanita lesbian bernama Irshad Manji. Kedatangannya di Indonesia pada bulan April 2008 disambut meriah. Dia dipuji-puji sebagai wanita Miuslimah yang hebat. Seorang wanita alumnus UIN Jakarta bernama Nong Darol Mahmada menulis sebuah artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Kata si Nong: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”


Hari Kamis (14/8/2008), saya diundang untuk menghadiri satu acara bedah buku tentang FPI di kantor Majalah Gatra. Tanpa saya tahu, penerbit buku tentang FPI tersebut (Nun Publisher) adalah juga penerbit buku Irshad Manji yang edisi Indonesianya diberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Di sampul depan buku ini, Manji ditulis sebagai ”Satu dari Tiga Miuslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Disebutlah buku ini sebagai sebagai ”International Best Seller, New York Times Bestseller, dan telah diterbitkan di 30 negara.” Pokoknya, membaca promosi di sampulnya, sepertinya, buku ini sangat hebat.


Tapi, sebenarnya, isinya kurang memenuhi standar ilmiah. Banyak celotehan Irshad Manji, ke sana kemari, hantam sana, hantam sini, tanpa ada rujukan yang bisa dilacak kebenarannya. Maka, saya heran, bagaimana kaum liberal sampai membangga-banggakan buku karya Irshad Manji ini? Seperti inikah sosok idola kaum liberal, sampai dijuluki ”lesbian mujathidah”? Apa karena Manji sangat liberal dan secara terbuka menyatakan diri sebagai lesbi, maka sosok ini dijadikan idola?


Buku Manji ini menggugat sejumlah ajaran pokok dalam Islam, termasuk keimanan kepada keotentikan Al-Quran dan kema’shuman Nabi Muhammad saw. Manji secara terbuka menggugat ini. Ia katakan:
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk Al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof Miuslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan Al-Quran.” (hal. 96-97).


Cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bukinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.


Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salma Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam menghina Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan istri-istri beliau. Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw sebagai sosok penipu, ambisius, yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan Al-Quran.


Karen Armstrong mencatat: ‘’It repeats all the old Western myths about the Prophet and makes him out to be an impostor, with purely political ambitions, a lecher who used his revelations as a lisence to take as many women as he wanted, and indicates that his first companions were worthless, inhuman people.”
Armstrong tidaklah keliru! Dan Umat Islam yang sangat menghormati Nabi Muhammad saw, tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Novel ini pun – dalam edisi bahasa Inggrisnya -- sudah dijual di Jakarta. Rushdie diantaranya menggambarkan istri-istri Nabi Muhammad saw sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” -- sebagai “the most pragmatic of prophets.”


Penulis novel yang menghina Nabi Muhammad saw seperti Salman Rushdie inilah yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang “ayat-ayat setan”. Memang, dalam bukunya ini pun Manji mengungkapkan , bahwa Salman Rushdie-lah yang mendorongnya untuk menulis buku ini. Manji menceritakan hal ini:
“Apa yang dikatakan Salman Rushdie padaku ketika aku mulai menulis buku ini teringat lagi saat aku berefleksi terhadap hidupku sejak penerbitan buku ini. Aku ingat ketika bertanya kepadanya kenapa dia memberikan semangat kepada seorang Miuslim muda sepertiku, untuk menulis sesuatu yang bisa mengundang malapetaka ke dalam kehidupannya, seperti yang telah menimpa dirinya. Tanpa ragu sedikit pun, dia menjawab, “Karena sebuah buku lebih penting ketimbang hidup.” (hal. 322).


Dalam bukunya ini pun Irshad Manji menjadikan pendapat Christoph Luxenberg sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami Al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis ia menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam Al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya.


Pendapat Luxenberg bahwa bahasa Al-Quran harus dipahami dalam bahasa Aramaik ditulisnya dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat ini pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Intelektual.


Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya polemis itu selama satu semester penuh di departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!


Namun, meskipun sudah dijelaskan secara ilmiah, orang-orang yang memang berniat jahat terhadap Islam, tetap tidak mau tahu dan mendengar semua argumentasi ilmiah tersebut. Irshad Manji, dalam bukunya ini, malah menyandarkan keraguannya terhadap Al-Quran pada pendapat Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Libanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji:
”Jika Al-Quran dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa Al-Quran meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).


Tampaknya, penerbit buku Irshad Manji dan kaum liberal di Indonesia pun sudah tidak peduli dengan perasaan umat Islam dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Mereka begitu mudahnya menokohkan wanita lesbian seperti Irshad Manji, yang dengan entengnya melecehkan Nabi Muhammad saw dan Al-Quran. Mereka mungkin sudah tahu bahwa umat Islam akan marah jika Nabi Muhammad saw dihina. Mereka akan senang melihat umat Islam bangkit rasa marahnya. Jika umat Islam marah, mereka akan tertawa sambil menuding, bahwa umat Islam belum dewasa; umat Islam emosional, dan sebagainya!

Kasus Irshad Manji ini semakin memahamkan kita siapa sebenarnya kaum liberal dan apa maunya mereka.


Kita kasihan sekali pada manusia-manusia seperti ini. Apa mereka tidak khawatir, jika anak-anak mereka nanti ditanya oleh gurunya, siapa wanita idola mereka? Maka anak-anak mereka tidak menjawab lagi, ”Idola kami adalah Khadijah, Aisyah, Kartini, Cut Nya Dien, dan sebagainya” tetapi akan menjawab: ”Idola kami Irsyad Manji, sang Miuslimah Lesbian teman baik Salman Rushdie sang penghujat Nabi.” Na’udzubillahi min dzalika.


[Depok, 13 Sya’ban 1429 H/15 Agustus 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com