Senin, 22 September 2008

Bush, Islam, dan Asia Tenggara

Oleh: Herdi Sahrasad, Associate director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina serta aktivis Forum Muda Paramadina

Lawatan Presiden AS George W. Bush ke Indonesia November ini tidak terlepas dari kepentingan strategis Amerika di kancah global. Menurut rencana, Bush akan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan beberapa agenda bilateral. Namun, dikhawatirkan kehadiran Bush akan membangkitkan sentimen Islam radikal.

Pasca runtuhnya Soviet, AS bertekad untuk tetap menjadi satu-satunya negara adidaya. Di dunia Islam, ambisi itu ditanggapi dengan kecemasan dan ambivalensi antara negeri-negeri muslim seperti Saudi dan Kuwait yang mendukung AS dan negeri-negeri muslim yang menentangnya, semacam Iran dan Suriah, selebihnya negeri-negeri muslim bersikap netral.

Di belahan Eropa, ambisi AS itu menimbulkan keretakan yang makin lebar dengan Eropa, sekutunya di Barat. Eropa saat ini menjadi satu-satunya kawasan di mana kekuasaan tandingan atas AS dapat muncul. Kasus serangan AS ke Iraq menampakkan permainan divide and rule oleh Washington dengan memainkan Inggris dan Eropa Timur yang mendukung serangan AS ke Iraq, berhadapan dengan (vis-Ã -vis) Prancis-Jerman yang menolak invasi/hegemoni AS ke Iraq tersebut.

AS dan Dunia Islam

Persepsi Bush banyak dipengaruhi pandangan Samuel P. Huntington dan Bernard Lewis dalam memandang dunia Islam. Bagi Bush, AS menyadari betapa sangat sulit dunia Islam (Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara) menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam hingga kini tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di Palestina sebagai kelompok teroris. Sebab, mereka berjuang membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel.

Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Bush dan pemimpin Barat yang lain agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk muslim merupakan satu faktor destabilisasi terhadap masyarakat muslim dan lingkungannya, termasuk destabilisasi terhadap AS/Barat. Jumlah besar kaum muda muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi ke Barat.
Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan Islam dan sekaligus benturan antara masyarakat Islam dan Barat.

Dalam bukunya (Who Are We?: The Challenges to America National Identity, 2004), Huntington meyakinkan Bush dan pemimpin Barat bahwa dewasa ini Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS, This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War.

Di sini, Huntington menggunakan istilah perang baru (new war) antara AS dan Islam militan. Bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Paralel dengan Huntington, penasihat Gedung Putih, Bush menyebut perang melawan Islam militan itu sebagai crusade.

Untuk memengaruhi Bush, Huntington menyodorkan polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan bahwa sebagian besar kaum muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Polling di sembilan negara Islam, Desember 2001-Januari 2002, yang ditunjukkan Huntington kepada Bush dan rakyat AS menampilkan opini umum di kalangan muslim bahwa AS adalah kejam, agresif, arogan, mudah terprovokasi, dan culas dalam politik luar negerinya .

Banyak kelompok Islam oleh Huntington dimasukkan ke kategori militan sehingga layak diserang AS secara dini. Tanpa memberikan alasan, sebab-sebab, dan fakta yang akurat dan komprehensif, Huntington menyatakan bahwa selama beberapa dekade terakhir kaum muslim memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Buddha, atau China. Di sini, Bush kemudian melihat Afghanistan dan Iraq sebagai negeri muslim yang layak diserang. Ketegangan dan terorisme global pun mencuat tak terelakkan, terutama dilancarkan aktivis Islam Al Qaidah dan jaringannya.
Dalam konteks Asia, terutama Asia Tenggara, Bush membuka peluang bagi peningkatan AS-ASEAN dan hubungan RI-AS di berbagai bidang yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan dengan mengembangkan area of common interests (kepentingan bersama) serta meminimalkan perbedaan (area of differences) dalam berbagai segmen pola hubungan AS-ASEAN dan RI-AS tanpa harus hanyut ke dalam pelukan hegemoni AS .

AS dan Asia Tenggara

Asia Tenggara masih trauma dengan malapraktik IMF dalam mengatasi krisis ekonomi di kawasan ini 1997-1998, yang menyebabkan krisis itu berkepanjangan, sebagaimana dicatat guru besar National University of Singapore Chang Heng Che (kini Dubes Singapura untuk AS) dan ekonom Paul Krugman serta Jeffrey Sach.
AS yang mengendalikan IMF dan Bank Dunia dinilai mereka tidak berbuat banyak dalam upaya mengatasi krisis ekonomi itu sehingga mendorong ASEAN lebih mendekati China yang lebih responsif dan suportif dalam membantu ASEAN mengatasi krisis ekonomi.
Dewasa ini, di Asia Tenggara, Indonesia merupakan elemen penting dalam perang AS dengan terorisme global, termasuk perang terhadap Al Qaidah, Jamaah Islamiyah, dan jaringannya. Indonesia adalah anchor of stability (jangkar stabilitas) di Asia Tenggara.

Keberhasilan Indonesia menangkap pelaku teror dan menghancurkan jaringan terorisme merupakan kontribusi sangat penting terhadap upaya masyarakat internasional dan pemerintah AS dalam menghadapi terorisme global. Karena itu, secara geopolitik dan geo-ekonomi, peran Indonesia di mata AS bagi terwujudnya stabilitas di Asia Tenggara sangat krusial, sekaligus sebagai sekutu pengimbang terhadap China di Asia. Sementara di mata AS potensi pasar dan sumber daya alam Indonesia sangat besar.
Dalam paradigma pemerintah AS yang meletakkan perang terhadap terorisme dalam kerangka ideologis, Indonesia sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia merupakan role model yang dibutuhkan AS. Masyarakat Indonesia dengan tradisi agama dan pluralisme serta memiliki toleransi, juga berperan sebagai counter balance dalam menghadapi peningkatan radikalisme agama dan terorisme yang dapat membahayakan sendi-sendi demokrasi dan stabilisasi di Asia Tenggara.

Karena itu, lawatan Bush pada November ini ke Indonesia, negeri terbesar di Asia Tenggara, akan memperkuat relasi AS-RI dan AS-ASEAN seiring dengan penguatan relasi AS-NATO di Eropa bahwa kedua hal itu vital bagi Washington vis-Ã -vis dunia Islam. AS butuh legitimasi dari Indonesia dalam meneruskan kebijakan memerangi terorisme ke depan.

Tetapi tidak melupakan fakta bahwa perilakunya sebagai terorisme negara dalam kasus serangan ke Iraq untuk menggusur Saddam Hussein dan Afghanistan soal Taliban serta intervensinya di Palestina dan tekanannya atas Iran soal program nuklir tidak bakal didukung dan dilegitimasi oleh Indonesia.

Kepentingan dan popularitas Bush di dalam negeri tidak akan terdongkrak dengan kunjungannya ke Jakarta. Pemerintah SBY-Kalla diperkirakan akan bersikap normatif, standar, dan terukur dalam menerima kehadiran Bush. Apalagi, masyarakat dan pemerintah Indonesia sudah dikecewakan kebijakan Bush yang menggunakan standar ganda dalam hubungannya dengan dunia Islam.

Dalam hal ini, Indonesia harus meyakinkan AS bahwa perangnya melawan terorisme akan gagal tanpa menyelesaikan masalah Palestina dan menciptakan perdamaian abadi di Timur Tengah (Timteng). Bush sebaiknya menyimak laporan akademisi di Harvard dan Chicago yang berseberangan dengan Samuel Huntington bahwa perdamaian di Timteng tak akan terjadi tanpa berdialog dan mendengar langsung keluhan kelompok Sunni-Syiah Iraq, Hamas, dan Hizbullah yang legitimate dan didukung konstituennya. (Telah dimuat pada harian Indopos Online, 9/11/06)

Tidak ada komentar: