Senin, 22 September 2008

Bush, Huntington, dan Indonesia

Senin, 20 November 2006 | 14:58 WIB

Kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Indonesia pada November ini sudah menjadi diskursus di kalangan Islam dan masyarakat madani yang bersikap kritis dan waspada terhadap kebijakan luar negeri Amerika. Berbagai demonstrasi menyambut pertemuan Bush dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bush baru saja mengalami pukulan telak dengan pengunduran diri Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, yang dikenal menganut garis keras dalam kebijakan luar negeri AS, khas kubu hawkish. Bush dan Yudhoyono akan membicarakan kerja sama keamanan, politik, dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, pembicaraan akan menyangkut operasi korporasi AS yang vital di Indonesia, seperti Exxon, Freeport, dan Caltex.

Bush memiliki pandangan yang paralel dengan Samuel P. Huntington, akademisi Harvard University dan penasihat kawakan Gedung Putih, yang melihat tragedi 11 September 2001 sebagai faktor signifikan bagi penguatan hegemoni AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS dalam pentas politik internasional secara lebih dominan. Bush dan Huntington adalah kubu hawkish, penganut kebijakan garis keras terhadap dunia Islam.

Serangan teroris 11 September memperkuat keyakinan Bush dan Huntington bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Secara geopolitik, di mata Bush dan Huntington, Indonesia merupakan jangkar stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara, selain untuk mengimbangi kehadiran Cina. Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respons AS terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afganistan dan Irak serta intervensi ke Palestina pada tataran khusus.

Dalam merespons terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional. Di sini sikap Bush yang keras terhadap terorisme teraktualisasi dalam kebijakan AS yang melahirkan semacam struktur "bipolar" baru yang memperumit pola-pola hubungan antarnegara. Pernyataan Bush, "either you are with us or you are with the terrorists", secara hitam-putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Pembelahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara, khususnya negara pascakolonial yang tidak ingin dipersepsikan oleh konstituennya berada dalam orbit AS.

Lagi pula, AS sulit untuk menerima pendapat negara lain bahwa perang melawan terorisme tidak harus dilakukan di bawah pimpinan AS. Sementara itu, bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah kemiskinan, beban utang luar negeri, separatisme, keterbelakangan, konflik sosial, dan konflik antaretnis dilihat lebih berbahaya ketimbang masalah terorisme sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup mereka sebagai sebuah negara.

Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau pada masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan dan militer Thailand di bawah Panglima Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratglin naik ke tangga kekuasaan melalui kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi antiterorisme dengan kedua negara itu.

Dengan jelas Washington cenderung menjadikan "komitmen" melawan terorisme lebih menonjol, ketimbang komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, sebagai alat untuk menilai siapa ''lawan dan kawan''. Akibatnya, terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan hak asasi manusia menjadi perang khususnya terhadap terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan AS secara langsung.

Persepsi Huntington

Persepsi Bush paralel dengan Huntington, yang dalam bukunya (Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, New York: Simon & Schuster, 2004) menyatakan musuh utama Barat pasca-Perang Dingin adalah ''Islam militan'', dan dari berbagai penjelasannya, definisi ''Islam militan'' melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, baik radikal maupun fundamental.

Huntington pernah menduduki jabatan-jabatan prestisius di bidang akademis dan aktif terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Pada 1977-1978, ia bekerja di Gedung Putih sebagai Coordinator of Security Planning for the National Security Council. Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut ''Islam'' sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, tapi dalam 'Who Are We?, ia menegaskan betapa Islam menjadi musuh dan ancaman bagi Barat.

Huntington mendukung agar AS/Barat melakukan preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah dijalankan Gedung Putih dengan menyerang Irak dan Afganistan serta mengintervensi Palestina, apalagi pada 2002 doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) telah secara resmi diumumkan. Kekuatan Islam militan di berbagai belahan bumi pun ''disikat'' oleh AS, dan yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau kelompok Al-Qaidah, melainkan mencakup juga banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS.

Pandangan Huntington mempengaruhi Bush, terutama persepsi bahwa apa yang dulu dilakukan oleh komunis internasional juga dilakukan kini oleh kelompok-kelompok Islam militan, seperti aksi protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Kalangan Islam militan juga melakukan kerja-kerja amal sosial dan kultural.

Dalam hal ini, akibat kecenderungan kuat mengaitkan Islam dengan terorisme di kalangan pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin kompleks dan rumit oleh ketegangan antara AS dan negara Islam ataupun negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Kehati-hatian dari negara berpenduduk mayoritas muslim dalam merespons persoalan terorisme ini kerap menimbulkan kecurigaan dari AS, bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan politik yang tidak mudah untuk dihadapi. Akibatnya, pemerintah di negara berpenduduk mayoritas muslim kerap dihadapkan pada dilema antara "kewajiban" memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan menjaga hak-hak konstituen domestik di pihak lain. Meminjam studi Rizal Sukma (CSIS, 2003), kebijakan "perang terhadap terorisme" yang dijalankan AS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok Islam di banyak negara muslim.

Dari uraian di atas tampak bahwa salah satu makna kunjungan Bush ke Indonesia adalah memperkuat relasi Washington-Jakarta. Apalagi, sampai saat ini, AS masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan "perang melawan terorisme" yang tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungannya dengan dunia Islam, termasuk Indonesia. Sudah tentu Bush ingin memainkan ''kartu Islam Indonesia'' untuk melegitimasi kepentingan AS/Barat dan perilaku/kebijakan AS di kancah global, sekaligus sebagai konsumsi ''politik'' dalam negerinya. Di sinilah kemungkinan kunjungan pemimpin AS itu ke Indonesia menuai protes dan mengalami ''komplikasi'' ekonomi-politik, yang harus didekonstruksi dan dicari solusinya oleh pemimpin kedua negara itu sendiri. *

Herdi Sahrasad, penulis, tinggal di Jakarta

dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/20/brk,20061120-88032,id.html

Tidak ada komentar: