Minggu, 16 November 2008

Regulasi REPO Bank Syariah Mendesak Dikeluarkan Bank Sentral




Oleh : Agustianto**

Saat ini krisis likuiditas melanda sejumlah lembaga perbankan, termasuk bank syari’ah. Ketatnya likuiditas bank syariah lebih dipicu oleh kondisi FDRnya yang selalu jauh lebih tinggi dibanding bank konvensional. Tingginya FDR ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, di sisi lain, bank syariah mengalami kesulitan likuiditas jika para nasabah ingin menarik dananya dari bank syariah. Gejala penarikan itu terlihat dari penurunan DPK dan SBI Syariah.

Pada bulan Juni 2008, simpanan DPK mencapai Rp 33,05 triliun, sedangkan Agustus 2008 hanya Rp 32,36 triliun atau turun 2%. Hal itu lalu memicu penurunan SBIS yang tinggal Rp 1,82 triliun pada posisi Agustus, padahal Juni tercatat sebesar Rp 3,08 triliun. Turunnya SBIS tersebut mengindikasikan ketatnya likuiditas di bank syariah. Untuk itu, pemberian fasilitas repo bagi bank syariah pemilik SBIS atau SBSN menjadi sebuah keniscayaan (keharusan). Dalam perspektif ushul fiqh, pemberian repo kepada bank-bank syariah adalah suatu kebutuhan (hajat) yang dipandang sebagai maslahah, bahkan bisa menjadi maslahah dharuriyah, yakni maslahah yang wajib (mutlak) dilakukan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan Al-hajah qad tanzilu manzilatat dharurah. (Kebutuhan itu terkadang menempati dharurat).

Bank Indonesia selaku bank sentral seharusnya menyediakan repo bagi bank syariah yang memiliki Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jadi perbankan syariah dapat mengadaikan surat berharga syariah berupa surat berharga syariah negara (SBSN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kalau BI sudah akan mengeluarkan kebijakan REPO, maka kita merasa senang dan menyambut baik kebijakan tersebut. karena BI memberi kelonggaran kepada bank-bank syariah sehingga lembaga ini bisa mengatur likuiditas lebih baik,

Kembali kepada FDR banak syariah, menurut hemat saya, tingginya FDR (finance deposit ratio) bank syariah, (di atas 95%) membuat kebijakan pelonggaran likuiditas bank syariah sangat diharapkan. Sebab saat ini semua bank mengalami pengetatan likuditas Artinya. bank syariah lebih berhajat (membutuhkan) likuiditas dibandingkan bank konvensional, karena FDR bank syariah sangat tinggi, mencapai 100 %. Ini berarti dana pihak ketiga hampir semuanya dikucurkan untuk pembiayaan. Sementara bank konvensional hanya 50%, selebihnya dimainkan dalam surat berharga.

Saya mengkritik Bank Indonesia, dalam masalah likuiditas yang terlalu fokus pada bank konvensional. Padahal bank syariah lebih membutuhkan likuiditas dibandingkan bagi bank konvesnsional. Lihatlah angka loan to deposit ratio (LDR) di bank konvensional dan FDR di bank syariah. Di bank konvensional rasionya hanya 50% yang dikucurkan untuk kredit, sisanya disimpan di surat berharga, berarti 50 % lainnya dibelikan ke surat berharga. Sehingga ketika bank konvensional memerlukan likuiditas, mereka bisa menjual surat berharganya tersebut.

Harus dicatat, bahwa saat ini angka FDR di bank syariah, mencapai 113% dan sepenuhnya dikucurkan dalam bentuk pembiayaan. Jadi, jika bank syariah menerima Rp 100 milyar maka semuanya disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Ini dikarenakan memang secara prinsip, bank syariah sangat peduli pada sector riel dan memang Islam mengajarkan yang demikian. Bank syariah tidak bermain di surat berharga melainkan lebih mengutamakan bisnis riil di masyarakat. Jadi pemberian repo kepada bank syariah jauh lebih wajib dibanding bank konvensional Lihatlah faktanya, pembiayaan yang disalurkan ke umat lebih dari 100% yakni 113%. Sisanya yang 13% diambil dari modal bank. Di sinilah luar biasanya bank syariah. Bank Indonesia harus tahu akan hal itu.

Dalam kondisi FDR yang tinggi tersebut, kemungkinan sekali ada nasabah yang mau menarik depositonya di bank syariah maka pihak bank syariah akan mengalami kesulitan, karena tidak ada likuiditas. Oleh karena itu, kita mengusulkan kepada BI, agar segera mengeluarkan instrumen likuiditas untuk bank syariah dengan kebijakan repo bagi bank syariah yang tidak saja dalam bentuk menggadaikan SBIS, tetapi juga Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika kedua surat berharga tersebut tidak dimiliki bank syariah, maka harus ada Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia. Jadi BI perlu ada kebijakan yang jelas dan maslahah.

Pokoknya sejumlah cara yang halal harus ditempuh untuk menyiasati ketatnya dana di perbankan syariah. Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) mungkin bisa menjadi salah satu alternatif dengan rate IMA. Namun, PUAS tidak efektif untuk dilakukan dengan nilai pinjaman bank yang terlampau besar. Tenor yang sangat pendek akan sangat mengganggu. Sebab, jika sahibul mal (bank pemberi dana) nantinya menagih, maka bank mudharib bisa terganggu arus keuangannya. Hal itu bisa memperburuk kualitas likuiditas bank yang menjadi mudharib. Lagi pula kondisi riil perbankan syariah sulit untuk menerapkan PUAS, karena hampir seluruh bank syariah kekurangan likuiditas Kesimpulannya, Bank Indonesia dituntut segera mengeluarkan kebijakan repo bank syariah agar bank syariah menjadi longgar likuiditasnya..

** Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam

Tidak ada komentar: